PULANG
Selesai mencabut logo Yoga Leaf dari dinding depan siang ini, anak perempuan saya Kamala (8 tahun) kembali merangkai huruf-huruf ini di lantai. Ia ingin tetap menyimpannya nanti di rumah.
Saya mengatakan, “Sayang, kita tidak boleh menumpuk sampah di rumah.” Ia menolak menyebutnya sebagai sampah, “Itu kan Yoga Leaf!”
Saya menghela nafas, “Betul sayang, tapi ini hanya sekedar tulisan saja. Ini memang tulisan Yoga Leaf, tapi Yoga Leaf bukan sekedar tulisan ini saja kan?” Ia pun merengut.
Saya mengagumi kelembutan hati anak perempuan saya itu. Ia mudah tersentuh. Ia sayang dengan barang2nya, walau belum telaten merawatnya. Saat ibunya -saya- menerapkan beberes #konMari, baru di tahap BAJU saja ia sudah rewel menanyakan dimana baju-bajunya saat TK yang masih ingin ia pakai, padahal memang sudah kekecilan. Duh.
Saya berbeda dengannya. Saya cenderung tega membuang/melepas barang-barang. Tapi melepas benda memorable Yoga Leaf itu -yg sudah ratusan orang berfoto didepannya selama 8 tahun terakhir- bukan artinya saya tidak punya perasaan. Justru karena saya aslinya baperan, sehingga barang-barang penuh kenangan -yang berpotensi membuat mellow dan galau berkelanjutan- memang lebih baik dilepaskan.
Dengan melepaskan, secara mental saya akan siap memulai sesuatu yang baru. Bagaimana bisa kita memulai tahapan yang baru tanpa menyelesaikan tahapan sebelumnya? Dalam hal ini, Yoga Leaf yang baru tidak bisa lahir tanpa terlebih dulu melepaskan Yoga Leaf yang lama.
Yoga Leaf yang lama? yang mana?
Saya pun merenung. Yoga Leaf adalah sebuah spirit, yang bentuknya selalu berubah mengikuti aliran perkembangan spirit saya. Bisa dikatakan bahwa Yoga Leaf adalah refleksi pikiran saya. We are truly soulmate!
Di awal perjalanan kami, saya sempat bercita-cita untuk memasyarakatkan yoga dalam wujud membuka sebanyak mungkin cabang Yoga Leaf di Indonesia.
Seiring waktu, saya menyadari bahwa saya bukanlah business woman, dan juga seorang manajer yang buruk. Passion utama saya adalah mengajar. Cita-cita membuka cabang di seluruh Indonesia pun beralih ke menulis (diantaranya menghasilkan 2 buah buku) dan mengadakan pelatihan2 guru. Saya pikir sama saja lah, toh dengan guru2 di berbagai daerah yang mengajarkan yoga dengan metode Yoga Leaf itu pun sama dengan “membuka cabang”.
Aliran saya kini mengantarkan saya kembali pulang ke rumah dan mengharapkan untuk bekerja dari rumah. Ini akan memudahkan saya -yang selama beberapa tahun ini memilih untuk mandiri dalam mengurus rumah dan mengantar anak sekolah- untuk mengontrol pekerjaan. Berada lebih dekat dengan karyawan dan pengajar yang telah setia akan membuat saya lebih baik mengenal mereka, begitu pula sebaliknya.
Saya pun akan kembali mengajar di rumah. Saya rindu mengajar kelas kecil yang dengan segala keterbatasannya namun dikerjakan dengan penuh cinta dan semangat. Saya ingin orang-orang berkumpul dan menemui saya di rumah, bukan di tempat lainnya yang bahkan jarang saya kunjungi.
“Kok tulisan Yoga Leaf mau dibuang sih?”, Kamala masih merajuk soal logo yang ingin ia simpan.
Saya pun tersenyum padanya, menyerah. Biarlah ia simpan logo itu bila memang itu berarti baginya. Apapun kata KonMari.
“Tidak sayang, kita tidak akan membuangnya. Kita justru akan membawanya pulang ke rumah, agar lebih dekat, lebih kita sayangi, dan kita besarkan di rumah.”
Ia bingung, tidak mengerti arti ucapan saya. Tapi ia membalas tersenyum.
Ya, sayang, mari kita ajak Yoga Leaf pulang ke rumah. Ia penting bagi mama.
Memang seharusnya demikian.
( Tulisan lama, Januari 2018 )
#yogaleaf2018
Leave a Reply