Memasuki tahun 2020, saya sudah disibukkan beberapa life event yang menguras energi fisik, pikiran, dan emosi. Diawali dengan trip dadakan ke US. Belum habis capenya, tiba-tiba anak sulung demam panas dan harus diopname karena DBD, sementara di waktu yang sama saya tengah menjalankan pelatihan pengajar yoga di Rumah Yoga Leaf.
Karena kecapean dan kurang tidur, akhirnya saya terkena flu ( tipe saya memang begitu, cape = flu ). Baru saja beres pelatihannya – tapi belum sembuh flunya – sudah harus berangkat lagi traveling ziarah ke luar kota bareng anak yang bontot. Dipikir-pikir, sayang lah kalo ga jadi berangkat, tiket sudah dibeli jauh-jauh hari, kasian juga si kecil akan kecewa kalo ga jadi berangkat. Lagian kalo berangkat pun, asik2 aja kan sekalian liburan? Why not? Rasanya saya pun perlu melepas penat, sekaligus butuh piknik 😁😁
Sedang Dalam Ketidakseimbangan
Beberapa tahun ini saya membiasakan diri untuk tidak terlalu reaktif dengan drama hidup. Kalo lagi seneng ya syukuri, asal jangan kebablasan senengnya. Begitu juga kalo lagi sial, sedih boleh, tapi jangan kelamaan sedihnya. Senang dan sedih sama-sama jalan menuju ingat sang Pencipta, bukan? Sama-sama indah, lewat perasaan yang melambung, atau lewat perasaan yang mengakar. Belajar dari beberapa pengalaman, saya semakin paham bagaimana tetap seimbang di antara kedua polaritas itu. Belajar melepas bebas dari sensasi-sensasi itu. Kadang sukses, kadang menambah drama baru. Hm.
Tapi ketidakseimbangan fisik yg lelah kronis ini membuat pikiran tercerai berai, sulit konsentrasi. Saya perlu cara untuk kembali merapikan diri saya dari dalam.
Lewat apa, yoga asanas? Pranayama? Meditasi?
Ya, bisa juga. Tapi saya sih biasanya lewat beberes rumah.
Lho?
Beberes
Saya menemukan beberes sebagai salah satu momen zen-ku. Walau demikian, saya bukan beberes freak yang melakukannya demi kerapian dan keindahan rumah, karena sebenarnya saya biasa saja di tempat yang berantakan pun ( walaupun sekarang karena rumah saya dipakai utk menerima tamu yoga – mau g mau – ya harus rapi). Saya melakukannya semata karena saya tau, setelah melakukannya saya akan merasa lebih baik. Ternyata kerapian rumahku berefek signifikan pada kerapian pikiranku.
Metode beberes yang saya sukai adalah KonMari – seni beberes ala Jepang – karena memiliki tahapan yang sederhana, tegas, dan berjenjang, dari tahap yang paling gampang ke tahap yang paling bikin baper. Keterangan lengkap bisa dibaca lewat buku The Life Changing of Tidying Up yang ditulis oleh penemu metode beberes Konmari Marie Kondo.
Bagaimana Caranya Beberes ala Konmari?
Secara umum, kegiatan beberes KonMari meliputi 3 hal:
1. Menyortir barang.
2. Membuang barang yang tidak lolos sortir.
3. Menyimpan barang yang lolos sortir di tempatnya masing-masing.
Yang dimaksud dengan “barang” dikategorikan kedalam 5 jenis:
1. Pakaian
2. Buku
3. Kertas
4. Printilan ( suvenir kecil, tutup pulpen, dan segala macam yg memenuhi laci2mu )
5. Komono ( benda sentimentil penuh kenangan, seperti foto2, surat cinta dan sebagainya).
Beberes harus dilakukan secara terstruktur – kategori per kategori – tidak boleh membereskan barang di kategori berikutnya sebelum kategori sebelumnya selesai. Semua barang dalam kategori tersebut harus dikeluarkan, disortir/dipilah, yg tidak lolos sortir dibuang ( atau disedekahkan, diberi ke orang lain, dijual, apa pun, yg penting keluar dari rumah), dan yang lolos sortir disimpan kembali dengan cara yg baik.
Pertahankan hanya yang membawa kebahagiaan!
Jargon KonMari yang dahsyat adalah: “Keep only thing that sparks joy”.
Pertahankan barang-barang yang memberikan kegembiraan/kebahagiaan. Barang yg tidak menggembirakan ( karena salah beli, ga sreg warnanya, pemberian orang yang ga sesuai selera.dll ) lebih baik dilepaskan.
Barang disentuh satu persatu untuk merasakan ia memberi/tidak memberi bahagia. Yang tidak lulus sortir harus diperlakukan baik dan dilepas secara penuh hormat, tidak dicampakkan begitu saja. Ini semacam, “Ini bukan tentangmu yg kurang bagus, tapi sepenuhnya tentang aku” yang menjadi momen melepas yg emosional dan setelahnya melegakan.
Barang-barang yg masih memberikan kegembiraan kembali disimpan ke tempat penyimpanannya. Metode KonMari punya cara khusus untuk melipat pakaian atau menyimpan barang, tapi berhubung saya kurang cocok dengan cara itu, jadi saya menyimpan pakaian dan barang-barang saya dengan cara biasa saja.
Setelah selesai dengan Kategori Pakaian, saya akan lanjutkan dengan kategori barang lainnya. Yang menarik, ada beberapa kategori barang yang mudah disortir dan ada lainnya yang sulit utk disortir. Bagi saya, paling sulit untuk melepas di kategori Buku!
Sedikit demi sedikit “timbunan sampah” yang tanpa disadari tinggal di dalam rumahku pun terbuang. Begitu pula, timbunan kepenatanku pun terlepas.
Dengan melepas dan hanya mempertahankan benda-benda yang memberi kegembiraan, kita memastikan hanya dikelilingi oleh hal-hal yang kita sukai saja di rumah. Bukankah itu lebih menyenangkan?
Melepas kemelekatan
Tanpa disadari, pikiran kita pun dipenuhi “sampah” yang membuatnya sesak oleh hal-hal yang tidak penting. Melepas barang yang tidak menggembirakan sama halnya dengan melepas satu persatu pikiran yang tidak produktif. Hasilnya pikiran semakin luas, lapang, lebih mudah untuk tenang dan fokus.
Jadi, tidak berlebihan bila saya menganggap beberes cara KonMari sebagai meditasi dalam aksi, atau meditasi beberes, atau beberes yang berkesadaran. Karena selain membuat rumah rapi dan lengang juga membuat pikiran semakin hening dan luas.
Lebih dari itu, aktivitas beberes ini pada akhirnya mempengaruhi keputusan saya saat ingin menghadirkan barang-barang baru lainnya di rumah. Saya akan memilih barang secara cermat, karena barang baru berarti timbunan baru, sampah baru, dan beberapa jenis barang konon sangat “melekat” dan sulit untuk dilepaskan.
Musafir
Anggaplah diri kita sebagai musafir, atau traveller yang tidak memerlukan terlalu banyak barang dalam perjalanannya. Seperti dalam satu kisah Sufi berikut ini.
Pada suatu waktu, dua orang pengelana mengunjungi rumah seorang Sufi Besar. Mereka terkejut melihat isi rumahnya yg ternyata hanya tikar dan lampu minyak. Mereka pun bertanya,
“Kemana perabotanmu wahai Maulana?”
Maulana balik bertanya, ” Perabotanmu sendiri, dimana?”
“Disini kan kami hanya tamu?”, jawab mereka dengan bingung.
“Begitu pun saya”, ucap sang Maulana.
Dalam kesempatan lain, saya ingin melengkapi kamar kos suami ( kami pasutri LDR, beliau adalah suami pejuang sabtu minggu yang menyewa kamar kos sederhana di belakang kantornya agar bisa berangkat kerja jalan kaki). Saya menawarkan untuk menambah beberapa perabotan kamar ( televisi, dipan kasur yg lebih nyaman, sofa kecil ) agar paksuami lebih nyaman tinggal didalamnya.
Jujur saja, saya tidak merasa kaget saat ia menjawab, “Ngga perlu lah. Gak akan seterusnya juga disini. Ntar repot”. Beliau memang seperti itu. Gak banyak maunya.
Beliau menganggap kamarnya hanya untuk singgah tidur malam, jadi kenapa harus banyak barang? Toh besok2 juga akan ditinggalkan.
Betul sih. Dengan esensi yang sama, bukankah begitu juga dengan rumah yang kami sekeluarga tinggali? Bukankah itu pun nantinya akan ditinggalkan?
Ya, biar betah lah.
Bukankah kita ibarat sekedar transit di sebuah stasiun, menunggu kereta berikutnya yang akan membawa ke tujuan selanjutnya? Mengapa banyak sekali barang2 yang dimiliki di waktu yang sesingkat itu? Yang nantinya semakin sayang, dan sulit ditinggalkan.
Zuhud
Tentang melepas, mau tidak mau ini membuat saya berpikir tentang asketisme Islam yang disebut dengan istilah zuhud, yaitu meninggalkan hal-hal yang tidak berguna untuk akhirat. Hidup dalam kerendahhatian, kesederhanaan, dan ketakwaan, akan membuat seseorang selalu ingat dengan kehidupan setelah kematian. Walaupun berbeda dalam istilah, namun itulah tepatnya yang dipraktikkan oleh para sufi, rahib, biksu, sadhu, yogi, dan para pencari Tuhan lainnya. Seperti halnya Siddharta yang menempuh berbagai jalan “pemusnahan diri” sebelum akhirnya ia bangkit menjadi Sang Tercerahkan.
Pada suatu titik pencariannya, Siddharta meninggalkan para sadhu yang beramai-ramai mengikutinya. Ia menyadari bahwa zuhud batin jauh lebih penting dari sekedar zuhud fisik. Karena zuhud adalah tentang hati yang menjauhi hal-hal duniawi, walaupun secara fisik seseorang itu masih berada dalam gelimang harta duniawi.
“Letakkanlah dunia ditanganmu, namun tidak dihatimu” ( Imam Syafi’i ).
Seperti Nabi Sulaiman yang kaya raya namun pandai bersyukur. Seperti Nabi Ayub yang menderita namun pandai bersabar.
Masalahnya, jujur saja, mampukah kita untuk tidak terlena dalam euforia kenikmatan duniawi? Mampukah kita untuk tidak terpuruk dalam kesakitan duniawi ( kemiskinan, hujatan, siksaan dll ) ? Mampukah kita untuk mati rasa, melepas dari semua itu?
Sungguh indah bila kita mampu. Muutu qabla an tamuutu. Matilah sebelum kamu mati. Agar kamu tidak terlena, tidak terluka, dan agar tidak ada lagi “kematian” yang akan merampasmu dari dunia.
Kematian Ego, mungkinkah?
Dari sebuah filem, “Kita tidak pernah kehilangan ego kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha untuk melampauinya.”
Di dalam Tasawuf, Ego adalah sebuah modus pikiran yang dikendalikan oleh jiwa yang rendah ( Nafs Amarah ) di dalam Hati ( qalb ) yang mendorong pada penyakit hati semacam sombong, bangga, pamer, ambisi, cemburu, benci, dendam, dengki, nafsu syahwat, rakus, kikir.
Hati harus dilembutkan dan “dicuci” lewat berbagai ritual penyucian hati, diantaranya Sholat ( wajib dan sunnah), Dzikir ( mengingat Tuhan Semesta Alam ), Shalawat ( mengirimkan pujian terhadap Nabi ), dan Muhasabah ( introspeksi ). Tujuannya ialah untuk melampaui jiwa yang rendah ini, menuju jiwa-jiwa lainnya “yang lebih tinggi” dengan tahapan: jiwa yang mendapat hidayah/bertaubat- jiwa yang terilhami – jiwa yang tenang – jiwa yang ridho – jiwa yang bahagia – dan akhirnya, jiwa yang murni.
Beberes Sebagai Terapi
Ada sebuah filosofi dalam yoga, Saucha ( kebersihan ) adalah sikap/attitude baik seorang yogi, karena tubuh dan lingkungan yang bersih akan mendukung ketenangan pikiran. Itulah mengapa, kebersihan adalah sebagian dari Iman? Tubuh dan lingkungan yang bersih mempermudah khusyuk?
Tubuh adalah pintu menuju jiwa, dan jantung adalah pintu menuju Qalb. Kegiatan sesederhana beres2 rumah yang dibarengi dengan attitude hati yang “tepat” – ikhlas, syukur, berserah, cinta kasih dan rasa iba/semangat berderma – yang dilakukan secara intensif akan menggerus kekerasan hati, melembutkannya, dan mengaktifkan jiwa yang mendapat hidayah/bertobat, dan seterusnya, dan seterusnya, bila Tuhan berkehendak demikian padamu.
“Hati ibarat dasar telaga yang memiliki tangan2 yang menyibakkan air dari gulma yang menutupinya dari cahaya matahari. Gulma-gulma yang berasal dari hasrat dan kekotoran jiwamu. Hanya ketakwaanlah yang mampu menggerakkan tangan2 dari Hati, dan itu bila Tuhan berkehendak demikian” ~ Rumi
Menjadi spiritual adalah sesederhana meletakkan Tuhan di atas segala hal yang kita lakukan. Apapun, termasuk urusan beberes ini, bila dilakukan dengan niat yang tepat akan menghubungkanmu dengan Dirimu Yang Lebih Tinggi, yaitu diri yang berpemahaman, yang berdamai, yang bahagia.
Tujuan dari terapi adalah untuk kembali mensinkronkan tubuh, pikiran dan hatimu, dan bahagia adalah indikator tertinggi dari keseimbangan itu. Dan bukankah bahagia juga artinya pertanda Tuhan hadir dalam hatimu?
Kosong
Banyak orang menyalahartikan kosong sebagai kata yang berkonotasi negatif. Apalagi bila dikaitkan dengan pikiran, maka itu berarti pikiran yang bengong, yang mudah dikuasai oleh sihir atau hipnotis.
Pernahkah kamu mengalami suasana pikiran yang hening? Saat dimana kamu tidak ingin pergi kemanapun kecuali disini? Saat tidak menginginkan apapun karena segala sesuatunya telah cukup apa adanya disini? Saat diri terasa bening dan segala sensasi keluar masuk tanpa tertahan maupun ditahan? Saat keheningan melampaui susah dan senangmu? Saat ada kebahagiaan dalam kesulitanmu? Saat ada kewaspadaan dalam kesenanganmu? Saat hatimu melepas dari segala kecemasannya, menjadi kosong, dan seketika itu pula terasa penuh?
Saat terhubung dengan kekosongan itu, tidak ada satu pun yang mampu menguasaimu. Baik senang maupun susahmu.
Kosong.
Kosonglah.
Jangan biarkan apapun memilikimu.
Links:
Blog Catatan Reflektif: Kontemplasi Pasca Umrah
Blog Catatan Reflektif: Pergilah, Temukan Dirimu
Blog Catatan Reflektif: Not Too Tight, Not Too Loose
👍👍
Setuju teh… Let it go…
Rasa memiliki itu berat
Lepasin aja…
Hidup lebih bahagia,
Woles kata anak jaman skrg mah 🤭
Setuju juga dengan teh Novi. Nuhun sudah mampir.
Baru slese baca.
Teteho, setuju dan benar adanya tulisan ini. Terimakasih untuk menuangkan apa yg sama2 dirasa di benak Saya. Tertuang dng sangat benar dan indah. Diterima dng sangat gamblang dan mudah dipahami. Terimakasih
Alhamdulillah bila bermanfaat. Terima kasih sudah berkenan membaca sampai tuntas, dan nuhun sudah mampir disini.
teteh eke padamu deh😍…. beberes rumah done, ampe suara mantul soalnya rumah lengang😀… bebersih hati n pikiran masih kerja keras teh🙈💪diniatin terus lah yao😋
Aku juga padamu :-* asik sebenernya rumah masih lengang, pikiran g banyak terdistract, dan bisa langsung bikin kelas yoga! Yuhuuuu.
Sangat menginspirasi dan memberi pencerahan Teteho. Kebetulan sama memulai tahun ini dengan beberes, cuman ternyata yang cukup sulit dilakukan adalah mempertahankan. Setelah semuanya dirapikan, kemudian tetap menjaga energi dan semangat yang sama itu tidak mudah. Apalagi ketika harus menyamakan semangat dengan seluruh anggota keluarga.
Mungkin itu juga yang harus dilakukan dengan hati, seringkali seperti dapat ilham untuk melakukan segala hal seperti “seharusnya”. Namun kemudian seringkali lupa dengan niat awal dan mesti selalu mengingatkan diri akan niat baik itu.
Terima kasih banyak untuk tulisannya di penghujung Januari. Semoga akhir pekannya penuh arti.
Menurut buku tersebut, yg sulit membuat rumah rapi ialah karena kita seringkali hanya merapikan tempat per tempat, bukan per kategori, dan yg terpenting dari beberes konmari sebenarnya adalah membuang. Membuang akan lebih efektif bila dilakukan perkategori dan bukan pertempat. Rumah kita dipenuhi timbunan sampah yg kita pertahankan karena “sayang dibuang” atau “siapa tau lain kali perlu”. Tahap berikutnya yg penting setelah rumah rapi adalah disiplin meletakkan barang k tempatnya masing2. Paham sekali bila orang serumah bisa engga paham dengan kegiatan beberes kita. Saya serumah dengan ibuku, dan seperti ibu2 lainnya dimanapun, mereka adalah recycler dan hoarder kelas berat hehe 😜… Read more »
Suatu waktu musti diskusi ttg ini teh.. letting go yang harus dilatih sepertinya ya… semoga mampu bijaksana akunya…
Ayo Egi kapan2 main lagi ke Bandung. Kita ngobrol2 yg lebih lama setelah kelas.
Keren bu
Sik asik. Nuhun say
Kalo mau terapi lagi, boleh beberes di rumah gue. :-))
A nice long read in a lazy Saturday morning. Thanks
Wahaha .. ini Barkah ya?
Ra isoo pake barang2 orang lain. Kurang kemelekatan. Krn yg paling penting adalah proses melepas/ikhlasnya. Nuhun udah mampir!
Dari apa yang teh Uji tulis diatas, bisa mencerminkan refleksi teh Uji menjalani keseharian dan tetap terus berpegang pada prinsip meninggalkan keterlenaan duniawi. Banyak belajar banget dari tulisan ini wal khusus untuk pribadi. Semoga lambat laun bisa kearah yang lebih positif dengan bantuan Tasawuf tentunya. So proud of you, teh💯💐
Wah tersanjung sekali membaca komen ini. Hatur nuhun mas Rendy, saya juga perlu belajar dari mas Rendy nih tentang ilmu Psikoterapi Tasawufnya. Alhamdulillah semoga kita semua bergerak ke arah kebaikan. Insya Allah.