Kontemplasi Diri: Aku & Objek-Objek Kemelekatanku ( Bagian 8 )

Bisakah memiliki sesuatu tanpa melekat?

Bagi saya, sungguh itu adalah sebuah hal yang hampir mustahil.

Kenyataannya, saat saya memiliki sesuatu maka saya akan menjadi terlalu cinta pada hal itu dan melekat terlalu kuat. Walaupun saya bukan tipe kolektor dan hanya menyukai sedikit barang namun bila sudah melekat, ya ampun.

Masih teringat mobil pertama yang saya miliki. Si mobil kecil itu mampu membuat saya was was dan gelisah bila dipinjam. Selain itu juga kenangan akan dinding berwarna putih yang saya kuatir akan ternodai kotoran, dan tanpa sadar membentak anak sulung saya yang mengotorinya secara tidak sengaja. Kini setelah mobil tersebut tidak ada dan dinding itu sudah kusam, saya pun merasa lebih lega.

Oleh sebab itu, daripada jadi melekat, saya sekarang lebih memilih untuk tidak memiliki sama sekali. Karena memiliki tanpa melekat untuk saya adalah mustahil. Itu juga pertimbangan saya untuk sepeda B. Saya takut untuk melekat berlebihan yang hanya akan mengganggu konsentrasi saya.

Sampai akhirnya saat itu pun tiba. Saya tengah mengepak barang-barang keperluan pelatihan di luar kota. Kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam daftar bawaan saya: saya akan membawa sepeda lipat saya! Saya sudah mempersiapkan sepeda lipat roda 20inch saya dari beberapa hari sebelumnya. Lampu kedip depan-belakang, pompa, dan tas untuk mengepak juga sudah ada.

Setelah lipat sana sini dan memasukkan kedalam tas saya pun berpikir, hmm, ternyata masih besar juga ukurannya. Gimana ya biar lebih ringkas?

Mau engga mau jadi terpikir si Sepeda B.

Entah dapat ide dari mana — ya dari mana lagi — saya pun lalu mengetik sebuah postingan di grup WA para pesepeda lipat di Bandung. Bunyinya begini.

“Teman-teman. Wacana aja nih. Saya akan ke kota ***** hari Rabu 9 November sampai dengan Senin 14 November untuk pelatihan. Inginnya sih bawa sepeda. Ada engga ya yang bisa minjemin atau menyewakan Sepeda B nya di sepanjang waktu tersebut? hehe sekalian test drive. Baik untuk teman yang ada di sini ( kota Bandung ) atau ada yang di kota *****. Nuhun.”

Saya sungguh tidak berharap akan ada yang merespons karena saya paham makna sepeda bagi para hobbyist adalah barang pribadi yang tidak untuk dipinjamkan. Jadi, ya sudah.

Namun ternyata saya salah. Keesokan paginya saya menerima pesan personal dari nomor yang belum saya kenal, ” Nte Puji, kalo belum ada yg minjemin bisa pake Sepeda B saya, kebetulan tanggal segitu saya ke on duty di surabaya”.

Deg. Jantung saya mulai berdetak lebih kencang. Ada juga yang merespons.

Reaksi saya pun tentunya, “Wow! Ini dengan siapakah? Nuhun pisan sebelumnya ya!”

Jawabnya, “Saya ****** dari kabupaten Bandung. Kalo ok saya ada di ********* jam 13-15….”

Saya terkejut, “Hari ini?!”

Jawabnya lagi, ” Iya, karena Rabu pagi saya sudah ke Surabaya lagi”

” Baik, saya akan kesana. Sekitar jam 1 ya?”

“Ok, sepeda saja kan, ga perlu sama tas depannya buat belanja?”

Gedubrak.

“Ide yang sangat baik itu :”) :”) :”) boleh ya?” *terharu

“Boleh saja. Engga dipakai kok.”

Dan ia pun mengirimkan sebuah foto sepeda B.

Apaaaa??

Seriuskah orang ini? Kenal juga engga, hanya sebatas tahu nama di grup WA saja. Kok bisa-bisanya ya memercayakan benda seserius itu pada orang yang belum dikenal?

Diantara kebingungan, saya pun tetap memutuskan untuk datang pk13.00. Tentu dengan menyisakan sedikit kewaspadaan, artinya pikiran kritis saya masih berfungsi dengan baik.

Sudah menjadi rutinitas saya di setiap hari senin utk membantu suami bersiap kembali bekerja ke sebuah kota di pulau Sumatera. Berhubung lokasi janjian dengan kawan baru saya relatif dekat bandara maka sekalian saya ajak suami untuk menemani.

Kami pun tiba di TKP tepat pukul 13.00. Kami berangkat menggunakan taksi karena mobil kami sedang diperbaiki di bengkel. Berbekal helm dan sarung tangan –bersiap memboyong sepeda B pinjaman– jantung saya tambah berdebar. Sempat juga ke toilet karena cemas sehingga mules.

Tiba-tiba ada pesan WA. ” Nte ada dimana? Saya ada di parkiran.”

 

Deg.

 

Sambil mengatur napas perlahan saya dan suami datang ke tempat parkir. Sempat terpikir, sepedanya saja Sepeda B, pasti mobilnya pun sekeren sepedanya. Namun ternyata saya kembali salah. Kawan saya tersebut ternyata menggunakan mobil yang menurut saya sederhana. Ia pun langsung membuka kap bagasinya dan mengeluarkan sang Sepeda B ( selanjutnya akan saya sebut sebagai Om Jon). Wow!

Ia pun lalu menginstruksikan cara melipat dan menggunakannya. Sangat alami, seolah tanpa beban, dan tidak berlangsung lama.

Sejenak hening meliputi saya. Ada air mata menggenang. Ini dia kemampuan untuk tidak melekat pada objek duniawi yang saya belum kuasai.

Aku paham.

Setelah berfoto bersama, sebelum berpisah ia mengatakan, “Saya baru kembali ke Bandung tanggal 26. Jadi silakan saja dipakai dulu.” Ia pun pamit, tanpa beban.

Selanjutnya kami pun berpisah di situ. Suami saya menuju bandara menggunakan ojek, kawan saya kembali menuju kegiatannya, dan saya bersama om Jon, yang belakangan baru saya ketahui merupakan spesies Sepeda B “berkasta tinggi” karena terbuat dari bahan tertentu sehingga lebih ringan dengan warna limited edition. Singkat kata, Om Jon lebih mahal dari sepeda B biasa.

Wow!

Dalam takzim saya berbisik syukur atas pelajaran yang disampaikan Nya lewat kawan saya tersebut. Memiliki tanpa melekat, inilah bentuknya. Aku paham. Terima kasih.

Kemudian saya pun mulai mengendarainya. Perlahan dalam takjub dan syukur. Riding with gratitude. Hamdallah dalam tiap kayuhan.

Hening yang meluas.

Saya tak pernah menyangka bersepeda bisa sedemikian melibatkan pikiran dan perasaan.

Mulai hari ini hingga tanggal 26 November, saya akan mencatat momen dalam bersepeda bersama Sepeda B pinjaman — Om Jon.. Mulai besok.

 

(Bersambung, hingga waktu yang tidak ditetapkan)

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of