Kontemplasi Diri: Aku & Objek-Objek Kemelekatanku ( bagian 11 – terakhir )

Apa yang kamu cari, mencarimu.

Ungkapan ini selalu sukses membuat saya– yang aslinya pencemas dan paranoid–merinding. Apa yang kamu pikirkan akan terjadi, jadi hati-hatilah dengan pikiranmu. Konon menurut Lao Tze, pikiran akan menimbulkan aksi, lalu aksimu akan jadi kebiasaanmu, dan akhirnya kebiasaanmu akan jadi takdirmu. Ini berlaku untuk pikiran baik maupun pikiran buruk. Jadi waspadalah dengan pikiranmu, itu adalah self talk mu dengan alam semesta.

Begitu pula dengan persoalan sepeda B ini, tentu itu pun terjadi karena kekuatan pikiran, tepatnya keinginan. Keresahan berkepanjangan ini, yang akhirnya direspons oleh seseorang yang karena konspirasi alam semesta– alias siapa lagi selain TUHAN, yang telah melembutkan hatinya–ia pun akhirnya menjadi instrumen; saluran yang mewujudkannya.

Kali ini Ego saya menang telak. Saya membiarkannya menguat hingga tak terbendung lagi.

Pikir saya, mungkin saja bila perenungan ini dibuat lebih panjang maka masih ada harapan bagi kesadaran untuk bertahan menolaknya. Memang kesabaran saya belum teruji. Padahal saya sudah telanjur bikin pernyataan di mana-mana untuk tidak membeli. Duh, malunya, gengsi amat.

Tapi, bukankah tidak jadi memiliki karena alasan gengsi pun masih bagian dari cengkeraman ego? Karena ego atau tanpa ego sungguh hanyalah setipis niat. Begitu juga eling atau tidak eling.

Baiklah, dengan begitu saya menyerah dan menerima kekalahan ini. Di sisi lain saya sangat bersyukur. Tidak semua bentuk pikiran atau keinginan bisa terwujud persis seperti yang diharapkan, hingga membentuk full circle/ lingkaran penuh seperti ini.

Dua minggu setelah punya sepeda B idaman, aliran saya pun kembali tenang. Saya kembali memerhatikan sepeda-sepeda lama, membersihkannya, membawanya servis, melengkapinya, dan lain lain.  Sepeda B kini lebih sering dipakai oleh suami– aha!–sedang saya lebih sering menggunakan sepeda yang ada boncengannya untuk gowes ngasuh anak yang kecil. Ternyata saya memang cinta bersepeda, passion yang baru muncul di bulan ke-4 pada tahun ini.

Sedikit  flash back, di awal tahun 2016 saya putuskan mengurangi kegiatan travelling ke luar kota. Iya, travelling in yoga disguise, tepatnya. Saya merasa perlu lebih banyak di dalam kota bersama keluarga dan orang-orang baik yang bekerja untuk saya. Tahun sebelumnya saya sempat mengalami titik kritis dalam hidup yang perlu penyembuhan. Di satu sisi saya paham manfaat mengurangi kegiatan travelling akan lebih mempererat bonding dengan anak-anak dan para karyawan. Di sisi lain saya merasa berkorban, karena travelling sebenarnya adalah passion saya. Jelasnya begini, yoga adalah kebutuhan saya untuk healing yang juga telah menjadi profesi mencari nafkah, namun travelling adalah semangat, yang masih murni dan tanpa pamrih.

Lalu sekonyong-konyong muncullah minat bersepeda. Nikmatnya serupa travelling yang dirindukan. Seperti piknik. Ini membuat saya berpikir bahwa cinta memang akan menemukan jalannya sendiri untuk mewujud dalam bentuk apa pun. Aku cinta bersepeda, seperti sebelumnya aku cinta merasakan kesendirian dan keheningan meluas saat berada dalam bis yang bergetar halus menentramkan, ayunan buai kereta dengan suaranya yang khas, wangi air laut saat berdiri di dermaga, atau sensasi pesawat saat tinggal landas.

Seperti yang telah saya uraikan di bagian awal tulisan ini, sama sekali tidak ada masalah dengan aktivitas bersepeda karena ini kegiatan positif, sampai akhirnya saya terpikat dengan sepeda B. Saya si pesepeda pemula ini merasa syok karena harganya yang menurut saya terlalu mahal–belakangan saya pun tahu ternyata banyak jenis sepeda yang mahal dan bahkan lebih mahal–dan itu membuat saya merasa bersalah, merasa ada yang tidak beres dengan hobi baru ini, hingga tercipta konflik batin.

Dalam sebuah obrolan dengan seorang teman di komunitas sepeda, ia mengatakan keliru bila sepeda dinilai semata dari nominal harga. Baginya sepeda adalah passion, semangat, cita-cita, mimpi, oleh karenanya layak diperjuangkan. Lewat berbagai cara, bahkan sabar menabung hingga bertahun-tahun demi sebuah sepeda idaman berharga puluhan juta. Dengan sepeda, hidupnya jadi lebih bersemangat, karena ada hal yang dituju dan diidamkan.

Teman lainnya mengatakan konflik ini dialami oleh semua pencinta sepeda. Saat seseorang berhasil mencapai sebuah sepeda impian, ia bagai bertransformasi, bermetamorfosa menjadi kupu-kupu indah. Mungkin  juga seseorang akan mengalami metamorfosa ini berkali-kali, tidak hanya dengan satu sepeda.

Berkali-kali? Glek, batinku.

Ini mungkin terdengar aneh bagi orang-orang yang berada di luar lingkaran tersebut, atau bagi pasangan hidup yang tidak bisa mengerti. Hobi ternyata bisa sedemikian memabukkan. Hanya pencinta yang dapat paham.

Ini mengingatkan saya pada satu versi cerita klasik Layla & Majnun dalam salah satu kitab Masnawi karya Sufi besar Maulana Jalaluddin Rumi. Dalam cerita tersebut, seorang pembesar di kota memerintahkan pasukannya mencari seorang Layla. Beliau sangat penasaran, seperti apa rupa wanita yang membuat Majnun jadi gila karena cinta. Saat akhirnya Layla ditemukan, sang pembesar tak temukan keistimewaan fisik apa pun darinya. Ia biasa-biasa saja, mirip kebanyakan wanita di daerah tersebut. Apa keistimewaan Layla yang membuat Majnun bisa sedemikian tergila-gila padanya?

Layla menjawab kebingungan tersebut. Ujarnya, “ Yang Mulia, hanya sepasang mata seorang Majnun-lah yang bisa melihat keindahanku, dan itu tidak Anda miliki”.  Keindahan hanya akan nampak bagi para pencinta.

Kemudian muncullah kembali konflik di diriku, selalu.

Ada yang nyolot membantah, “Tapi kan tetep aja mahal? Kenapa sih hobi engga bisa pakai limit harga? Punya hobi itu seharusnya pilih-pilih, biar murah meriah. Aparigraha dong, bergaya hidup sederhana, katanya praktisi yoga?”

Lalu ada yang kalem menjawab, “Bukankah tidak ada orang yang benar-benar irit? Konon semua orang punya keran borosnya masing-masing. Waktu itu, saat kamu bertahun-tahun hobi travelling berkedok yoga itu, apa pernah sedikit biayanya?”

Eh, iya juga ya.

Saat itu saya sama sekali tidak pernah berhitung mahal atau murah, untung atau rugi. Saya pun mampu menabung selama berbulan-bulan, mendadak irit cenderung pelit, bahkan kadang sampai cari pinjaman. Saat akhirnya tercapai saya pun berangkat dengan penuh rasa kemenangan, dan pulang membawa banyak pengalaman dan ilmu baru. Bahagia meluas hadir, hingga kemudian tibalah saat saya kembali mendambakan kegiatan bepergian lainnya.

Bermetamorfosa menjadi kupu-kupu. Berkali-kali. Aku paham!

Suara kalem itu melanjutkan,

“Beruntunglah orang-orang yang memiliki hobi. Mereka memiliki sesuatu yang layak diperjuangkan dan merasakan nikmat tak tertandingi. Tidak semua orang beruntung memiliki hobi sedemikian kuat.

Tidak ada yang perlu disesali, dirimu hanya mengalami perubahan bentuk dari passion. Itu tetap hal yang sama, namun dengan bentuk berbeda. Berbahagialah.

Mungkin kamu hanya merasa tidak nyaman dengan perubahan dan menolaknya karena ingin mempertahankan zona nyamanmu. Dari seorang yang merasa ahli kembali jadi anak bawang yang tidak berpengalaman.

Tapi mengapa kamu takut berubah? Bukankah perubahan itu nyata dan pasti? Dan bukankah sesuatu yang baru tidak perlu dipandang akan mengenyahkan hal-hal yang sudah ada sebelumnya?

Karena hidup bukanlah kuasamu. Yang sudah ditetapkan akan didekatkan. Yang tidak ditetapkan akan dijauhkan. Berbahagialah bila kali ini keinginanmu tercapai. Jangan pula terlena, karena kemudahan dan kenyamanan adalah ujian yang nyata, yang berpotensi menghanyutkanmu jauh dari kesadaran.”

Aku paham,

Sepeda hanyalah media.

Sepeda atau bukan sepeda, bukanlah kuasaku untuk memilih.

Dengan sedikit perubahan ini hidupku pun kembali bergejolak.

Aliran tenang yang cenderung stagnan pun kembali beriak, dinamis.

Mengalir indah dan nikmat.

Di balik semua ini,

aku menemukan kembali sesuatu yang selalu dirindukan.

Semangat.

Aku pun kembali percaya, esok akan indah.

 

(TAMAT)

 

31 Desember 2016.

Selamat Tahun Baru 2017

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of