Die Before You Die

( Ini adalah sebuah tulisan lama, yang ingin saya share juga di situs ini.. hope you can enjoy it ^^ )

Pagi ini setelah mengajar kelas yoga, seperti biasa saya melanjutkannya dengan memimpin sesi meditasi selama lebih kurang setengah jam. Waktu yang singkat sebenarnya, bila dibandingkan dengan waktu yang bisa saya luangkan untuk chatting di internet atau juga kongkow di cafe, namun cukup memadai untuk melanggengkan efek ‘persatuan’ yang hadir sesaat usai melakukan savasana akhir. Bagi saya, meditasi adalah praktek terpenting dari yoga, yang akan mengembalikan pikiran dan hati saya ke ‘point zero’ agar dapat memulai hari yang baru dengan semangat yang baru. Membawa pikiran dan hati ke keheningan, sebelum akhirnya ia akan kembali di‘sibuk’an oleh berbagai bentuk obrolan dan fantasinya. Dengan meditasi, pikiran dan hati akan menjadi terpusat sepusat – pusatnya, kemudian meluas seluas-luasnya.

Selesai bermeditasi, seperti biasa pula saya kemudian akan terlibat dalam obrolan dengan satu atau beberapa murid yang sekadar ingin mengajak ngobrol santai sambil haha – hihi, atau juga yang serius ingin curhat sambil bercucuran air mata ( Lucu juga sih, karena sepertinya Yoga Leaf ini lebih mirip ‘klub komunitas curhat’ daripada sebuah ‘klub olah raga’ :p ). Kegiatan kami di Yoga Leaf ini kebanyakan memang terdiri dari ngobrol-ngobrol awal ( yang istilah kerennya sih diskusi ), di isi dan selingi dengan ngobrol-ngobrol, dan diakhiri juga dengan ngobrol-ngobrol 😀

Melalui ngobrol, saya menemukan banyak hal yang dapat diungkap, dipelajari dan diambil hikmahnya…

Seorang teman yang mengajak saya ngobrol tadi pagi, menuturkan peristiwa yang terjadi padanya – yang juga menjadi alasan bagi ketidakhadirannya di kelas – selama dua minggu berturut-turut. Ia mengatakan bahwa dalam dua minggu ini ia dilibatkan dalam peristiwa kelahiran, pernikahan, dan kematian dari kerabat-kerabat dekatnya. Peristiwa yang terakhir lah yang berkesan bagi saya, tentang kematian sahabatnya dua minggu lalu, yang meninggal secara sadar dan dengan proses yang cepat, tidak diduga-duga. Sahabat teman saya ini, meninggal dalam perjalanannya menuju ke rumah sakit karena mengalami luka bakar setelah tabung gas untuk water heater meledak di rumahnya.

………………

Ungkap teman saya, malam tersebut almarhum ( ia adalah seorang laki –laki berusia sekitar 45 tahun ) ingin mandi air hangat untuk melepas lelahnya sepulang dari kantor.

Setelah beberapa kali mencoba menyalakan water heater tapi tidak juga menyala, akhirnya ia mengetahui bahwa gas nya habis, dan ia pun keluar kamar mandi untuk menggantinya dengan tabung gas yang baru. Ia kemudian turun ke basement rumahnya untuk mengganti gas ( konon gas yang menyambung ke kamar mandinya di letakkan disana ), dan setelah sekian lama mengotak – atik tabung gas namun tidak juga nyambung2, akhirnya kakak laki-lakinya pun ikut turun ke basement untuk membantunya memasang tabung gas tersebut.

Setelah beberapa saat, terjadilah ledakan dari dalam basement! Ledakannya kuat, sehingga melepas pintu masuk ruang basement yang terbuat dari kayu jati, dan melemparnya dan ‘memporakporandakan’ benda – benda yang ada di ruangan atas basement. Tak lama kemudian, ia dan kakak laki-lakinya keluar dari basement. Kondisinya cukup parah, dengan alis dan rambut yang habis terbakar serta kulit yang terkelupas terbakar, namun keduanya masih sanggup menaiki tangga basement dan keluar dari dalamnya. Saat itu kakaknya dalam kondisi yang lebih parah, karena ia hanya mengenakan celana pendek dan kaos dalam, sehingga bagian kulit yang terbuka sepenuhnya terkelupas dan menganga .

Istrinya menjadi histeris dan panik dengan adanya kejadian tersebut, namun ia dengan tenangnya berusaha menenangkan istrinya. Ia mengatakan mereka semua harus segera ke rumah sakit Boromeus karena luka bakar tersebut. Dengan sigap pula ia membantu membukakan pintu garasi dan gerbang rumahnya saat istrinya mengeluarkan mobil. Saat itu kakaknya sudah duduk di kursi belakang mobil, mengerang menahan sakit karena luka bakar.

Sepanjang perjalanan, ia tak henti-hentinya mangajak istri dan kakaknya untuk berdoa meminta perlindungan Tuhan. Ia juga menasihati kakaknya untuk tidak menekuk lengannya, agar tidak membuat lengan atas dan bawahnya menjadi lengket satu sama lain, dan ia terus menerus meminta maaf pada istrinya atas semua kesalahan yang pernah ia lakukan. Ia pun sempat mengatakan bahwa kejadian di basement itu terjadi dengan sangat cepat, dan ledakan tersebut disebabkan oleh bola api yang entar datang dari mana, memicu ledakan…

……………..

Sampai akhirnya mereka pun terjebak macet di perempatan lampu merah, dan ia pun mulai tertidur …. Dalam tidurnya ia mengeluarkan suara seperti mendengkur, yang perlahan – lahan menjadi semakin jarang.. dan hilang sama sekali ….

Istrinya tidak menyadari bahwa suaminya telah berpulang saat itu … dan saat ia menyadari, tangisnya semakin menjadi – jadi..

Setelah itu, rencana untuk ke rumah sakit Boromeus akhirnya berubah ke rumah sakit yang lebih dekat dari perempatan tadi, untuk mengurus proses rawat inap kakak laki –lakinya, serta untuk pengurusan jenazah suaminya …

Dan selang seminggu setelah ia meninggal, kakak laki-lakinya pun menyusulnya…

……………….

Saya terkesima dan sangat terkesan mendengar cerita teman saya itu. Betapa beruntungnya ia, sahabatnya, karena banyak orang yang tidak sempat mengucapkan maaf, atau berterimakasih saat ajal menjelang. Betapa jelasnya ia mengungkap kronologi penyebab kematiannya, dan betapa mudahnya ia meregang nyawa… sangat lembut, mudah, dan indah …

Yang saya yakini, saat seseorang dari kita meninggal, tidak hanya orang – orang yang kita tinggalkan yang akan berduka, namun kita yang meninggalkan mereka pun akan turut berduka dengan tingkat duka yang sama. Rasa shock yang dirasakan orang – orang yang kita tinggalkan, sama dengan rasa shock yang kita rasakan saat tiba-tiba harus meninggalkan mereka. Tidak boleh ada kata ‘belum siap’ saat menghadapi panggilan yang tiba-tiba tersebut…

Ini jadi mengingatkan saya pada seorang teman yang suaminya telah meninggal di luar negeri pada tahun 2006. Pada malam itu,sang suami dan teman-temannya tengah mengadakan party di tengah gurun, diantara gunung – gunung batu, untuk merayakan suksesnya pekerjaan terakhir mereka. Suami teman saya itu, yang juga seorang fotografer, berusaha untuk mencari angle yang bagus untuk mengabadikan peristiwa perayaan tersebut sehingga ia terus bergerak .. mundur dan terus mundur … hingga akhirnya ia terjatuh dan terhempas di kedalaman 40 meter diantara perbukitan berbatu…. Ia pun tewas seketika.

Saya yakin, suami teman saya itu pun shock dengan kejadian tersebut … dan ia juga tidak akan menyangka akan meninggal pada saat itu… di tempat itu…

Dan, kita semua memang akan datang ke tempat di mana kita akan meninggal …

…………………….

Kembali pada cerita tentang sahabat teman saya yang telah meninggal dengan segenap keindahannya … saat almarhum dibaringkan di rumah duka lengkap dengan pakaian jasnya ( ia adalah seorang penganut katolik ), teman saya menyaksikan betapa penuhnya ruangan tersebut dengan pelayat … pelayat datang silih berganti … betapa banyaknya orang yang turut berduka atas kematiannya…betapa banyak yang memberikan kesaksian atas kebaikannya …Betapa ia, semasa hidupnya telah banyak berbuat kebaikan….

Kami pun berdua – saya dan teman saya tersebut – kemudian setuju, bahwa tujuan hidup sebenarnya adalah untuk berbuat kebaikan dan berbagi kasih sayang sebanyak-banyaknya …. bukan untuk meraih kekayaan, atau juga ketenaran … karena tidak ada yang akan lebih kita sesali saat meninggal kelak selain bila kita kurang memberi cinta pada orang-orang disekitar kita … dan tidak ada pula yang lebih membahagiakan, selain hadirnya sahabat -sahabat yang mencintai kita mengantarkan kita di hari kematian kelak … ( saya masih inget ucapannya Iwan Fals yang dikutip di koran Kompas beberapa tahun lalu, mengenai kematian anaknya, Galang Rambu Anarki. Ia mengatakan tidak ada yang lebih ia sesali selain karena ia sering mengusir anaknya sewaktu kecil yang mengajaknya main saat ia sedang mencipta lagu )..

Bila memang demikian, jadi untuk apa kita terlalu silau akan hal-hal yang secara prinsip bukan penunjang utama tujuan hidup kita? Mengapa kita tidak menyederhanakan saja semua kebutuhan dan keinginan kita? Bila rezeki memang hanya perlu ‘dijemput’, mengapa pula kita terlalu ngotot mencarinya, bahkan ingin pula merebut rezeki orang lain?

Saya setuju dengan apa yang dituliskan oleh my wonderful spiritual teacher, Eckhart Tolle, yang mengatakan ‘ Die before you die, so there will be no more death ‘ …. ( saya pernah tulis ini sebagai shout out di friendster saya, yang kemudian menuai banyak cela, walau ada jg yang akhirnya memberi kritik membangun seperti, ‘ ujie dear, dont die before you die, but live forever until your next life’… hehe )…

Die Before You Die,
Die of Ego
Die of Fear
Die of Sadness
Die of Illusion
Die of Attachment…
And there will be no more death after you die..

( Pernah juga iseng ma Arief Sentosa ngobrolin bikin workshop duo berjudul ‘ the Art of Dying’ gara – gara ada ‘ the Art of Living’ .. hehe .. )

Ya sudahlah, I ll go back into my meditation pillow ajah, and try to go back into my nature state:
Tenang
Tentram
Nyaman
Damai
Bahagia

And let me live forever in this state…life after life…
……………..

4
Leave a Reply

avatar
1 Comment threads
3 Thread replies
0 Followers
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
2 Comment authors
Ariesty deviPujiastuti Sindhu Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
Ariesty devi
Guest
Ariesty devi

Teteh… cintaa akuuuh😗😗 dari tulisan ide gila.. daku terdampar disini. There is no coincident yah teh.. what a very abundance universe. Baru kmrn banget selesai baca buku mark manson “the subtle art of not giving a fuck” pas masa mudanya mark ada temenya yg meninggal krn terjun dr jurang.dan mark terus2an merasa depresi krn kehilangan temenya.dan pada suatu malam temanya datang ke mimpi’y Mark bilang k temen’y “i’m so sorry that you are died” trus temen’y yg udah mati tertawa keras dan jawab k mark “WHY DO YOU CARE THAT I’M DEAD WHEN YOU’RE STILL SO AFFRAID TO LIVE” Yes… Read more »