Saya tiba di Oslo – Norwegia kemarin siang, 26 Agustus 2018, naik kapal “ferry yang berasa cruise” krn fasilitasnya yang lengkap (mulai dari dept. store sampai casino).
Sejak dari Bandung saya sudah memesan online sebuah cabin ekonomi dengan sea view. Namun ternyata rombongan paksuami tiba2 berangkat dengan kapal yang sama, dan dengan jadwal yg sama .. so kamarku mubazir g kepake 😤😑 #uangku
Sesampai di Oslo saya sempat diajak tur ke museum Viking ( setelah kemarin juga sempat diajak jalan2 k Swedia – rejeki neng romlah! rombongan liariah ). Di sana tur guide menerangkan bahwa Oslo adalah negara dgn luas wilayah ke 3 terbesar di Eropa dengan penduduk hanya sekitar 6 jutaan. Euleuh, pantesan sepi begitu.
Dijelaskan juga tabu untuk membicarakan soal agama dan politik di Norwegia. Intinya, bagus kalo kamu udah punya pilihan agama dan partai politik, tapi kalo kamu berani2 ngajak ribut orang soal itu, siap2 aja masuk penjara. Jadi kebebasan berbicara dan memilih harus tetap berlandaskan toleransi. Mantaps!
Karena idealisme itulah, tidak heran ada Nobel Peace Center di Oslo ini. Didirikan oleh Raja Norwegia ( King Harald V ) di tahun 2005 utk menghormati para pejuang kemanusiaan, dan juga utk menghormati Alfred Nobel.
Sedikit info, Alfred Nobel adalah seorang saintis, penemu dinamit dan detonatornya yang awalnya diciptakan utk pertambangan dan memecah intan. Belakangan ia kecewa karena penemuannya disalahgunakan utk keperluan perang. Dalam surat wasiatnya ia mewariskan seluruh hartanya untuk para pejuang kemanusiaan.
Berhubung rombongan paksu tidak ada program utk berkunjung kesana, maka buist pun pamit untuk jalan sendirian kesana. Sampai jumpa nanti malam di hotel!
Di Oslo ini pusat kotanya kecil dan disitu2 aja, so g sampai 10 menit gowes udah sampai lah di Nobel Peace Center.
Di musium ini secara umum ada 2 kegiatannya:
1. Pameran tetap, ttg penerima tahunan penghargaan Nobel.
2. Pameran temporer, yg selalu berganti tema. Kali ini temanya adalah Tell the world about us. Isinya para aktivis yang tengah memperjuangkan isu-isu kemanusiaan di berbagai belahan dunia. Merinding liatnya.
Saya selalu kagum pada para pejuang kemanusiaan. Sebaliknya, selalu geram pada kaum penindas kemanusiaan. Ada yang salah pada otak kalian!
Bukankah lebih sulit mengembangkan kemarahan dan penindasan dibanding penerimaan dan perdamaian? dan karena ulah kaum penindas kemanusiaan ini juga lah, perdamaian jadi sulit dicapai.
Berdasarkan teori David Hawkins tentang “Force vs Power”, force adalah dorongan naluriah ( insting ) dan power adalah dorongan ruhaniah ( hati dan intuisi ). Kalo dalam teori yoga, kaum Force ini mereka adalah yg masih berjuang di ketiga chakra dasar ( Muladhara hingga Manipura untuk kebutuhan duniawi ), dan kaum Power sudah ada di chakra ke 4 dan seterusnya ( Anahata hingga Sahasrara kebutuhan rohani ).
Artinya kaum penindas masih berada dalam frekwensi naluriah – yang isinya tentang ketakutan dan kekuatiran – sehingga memandang orang lain sebagai saingan/ancaman. Sulit bagi mereka untuk bisa melihat bahwa sebenarnya manusia bisa bekerja sama untuk bisa sama-sama menguntungkan/menang.
Sebaliknya, kaum Power sudah berada di frekwensi ruhaniah yang lebih tercerahkan. Mereka yang sudah “paham bagaimana dunia seharusnya” ini tidak boleh diam saja membiarkan kaum Force merajalela. Mereka harus berperan untuk menyeimbangkan kekerasan yg terjadi dengan keadilan.
Salut bagi para aktivis kemanusiaan yang mau keluar dari zona nyamannya, mau repot berjuang demi kaum yg tertindas. Saya pribadi merasa ditampar keras karena selama ini cenderung menghindari konflik karena malas ribut, padahal mungkin saja konflik merupakan proses menuju solusi yang lebih baik. Bukankah ‘in order to change, you need to go through controversy?’Â
Ada oleh-oleh kutipan dari Alfred Nobel untuk kaum Force, “Keberpuasan hati adalah kekayaan yang sebenarnya”. Keserakahan akan selalu lapar dan tidak pernah terpuaskan. Keberpuasanlah yang bisa menghentikan ambisimu sekaligus memenuhinya.
Dan utk kaum Power, ini oleh-oleh kutipan untukmu dari Dalai Lama, “Kalau kamu pikir kamu terlalu kecil untuk melawan, cobalah tidur sekamar dengan nyamuk”.
( Autumn – August 2018 )
Leave a Reply