Bijak Berbagi

Awal Oktober ini saya sempat berbagi status di sebuah jejaring sosial. Seperti biasa, status ialah curhat terselubung yang menggambarkan reaksi subjektif terhadap situasi terkini. Saya menulis “Para pengemis dan anak jalanan akan dipekerjakan sebagai penjaga kebersihan ( penyapu jalanan ) kota oleh walikota Bandung terpilih, Ridwan Kamil. Gaji yang ditawarkan Rp.700.000,- ( gaji rata-rata Asisten Rumah Tangga pemula ). Mereka pun menolak sambil mengajukan syarat, boleh asalkan gajinya 4 – 10 juta sebulan. * Ayo, stop membagi2kan uang di jalanan. Tidak mendidik. “

 

 

 

“Orang-orang ini, kebangetan deh”, sungut saya dalam hati. Tentunya itu bukan hanya suara hati saya. Banyak teman yang merasakan kekesalan yang sama kemudian turut share status tersebut, menambahkan pendapat pribadinya, memberi link yang berguna, dan bahkan membuat karikatur dan desain poster yang mengena tentang pentingnya bijak dalam berbagi.

Lewat tulisan sederhana ini juga saya ingin berbagi opini tentang pentingnya kebijakan dalam memberi. Tidak bermaksud untuk menggurui, hanya mencoba berintrospeksi secara kritis. Semoga bisa menjadi bahan renungan bersama, demi kebaikan bersama.

Mengapa kita tergerak untuk menolong ?

Ada sebuah ungkapan yang menyebutkan, “ Whoever said money cant buy happiness, they don’t know where to shop “.

Walaupun sekilas mengesankan slogan sebuah mal besar yang tengah membujuk pelanggannya untuk berbelanja habis-habisan, sebenarnya kalimat tersebut memiliki makna yang lain. Makna lain tersebut ialah, “Uang tidak bisa membeli kebahagiaan bila yang dibeli ialah barang-barang pribadi. Uang baru bisa ‘membeli’ kebahagiaan jika dibelanjakan demi orang lain”. Dengan kata lain, uang baru bisa memberi kebahagiaan jika digunakan untuk menolong orang lain.

Tentu saja, menolong bukan selalu tentang memberi uang. Pernyataan di atas hanya menegaskan bahwa setiap manusia punya dorongan alami untuk membantu sesamanya, dan memberi atau berbagi ( dalam bentuk apapun) adalah praktek utama dalam menolong.

Ini mengingatkan saya pada ungkapan lainnya, “Jika kita menolong orang lain sebenarnya kita tengah menolong diri sendiri”. Berbagi dengan sesama dalam bentuk bersedekah atau melakukan kegiatan bukan untuk diri sendiri akan menghibur hati, dan mengetahui ternyata ada orang lain yang lebih tidak beruntung dari diri kita akan menumbuhkan rasa syukur yang memicu rasa bahagia. Itu lah sebabnya “Menolong itu sangat menyenangkan“.

Untuk mau berbagi, kita perlu terlebih dulu tersentuh oleh rasa kasihan/belas kasih/iba. Konon rasa kemanusiaan ini adalah benang merah yang menghubungkan seseorang dengan mahluk lainnya di muka bumi dan – di saat yang sama – dengan Penciptanya.

Kapan kita merasakan iba ?

Kita bisa ‘jatuh iba’ kapanpun dan dimanapun. Salah satunya dikarenakan efek reflektif, saat kejadian yang terjadi di luar tercermin pada diri pribadi atau orang-orang terdekat.

Hal ini cukup sering saya rasakan, khususnya di jalan raya saat melihat anak-anak meminta-minta. Sangat trenyuh melihat kondisi anak-anak yang mayoritas berusia balita hingga usia sekolah dasar tersebut. Mereka yang seharusnya berada di sekolah atau terlindung bersama orang tuanya di rumah ini melakukan beragam aktivitas meminta-minta. Beberapa anak mengamen dengan alat musik ala kadarnya, mengelap kap mobil dengan kemoceng, menuntun lansia atau orang cacat, dan bahkan dengan menggendong bayi. Beberapa lainnya tampak berdagang ( koran atau mainan ), namun dari caranya menawarkan dagangannya yang mengimbuhkan kata “Untuk makan, Bu”, “Untuk sekolah, Bu“, “Untuk biaya ibu atau adik yang sakit, Bu“ dan sebagainya, tentu itu pun masih bentuk dari mengemis.

Sebenarnya sudah berulangkali mendengar himbauan untuk tidak memberikan uang pada pengemis dan anak jalanan karena tidak mendidik, membiasakan orang tidak berusaha, melestarikan kemalasan, tapi berulangkali pula diabaikan. ‘Pemandangan ini’ lah yang membawa pikiran segera pulang ke rumah, pada anak-anak atau keponakan yang seumuran mereka. Tidak jarang pula wajah anak-anak tercinta yang membayang di wajah mereka, sehingga akhirnya tangan tergerak untuk memberikan beberapa keping ratusan atau ribuan rupiah.

Beberapa kalimat pembenaran akan dikatakan pembicara-pembicara di kepala saya dalam situasi tersebut, “Ah, kalo hati merasa trenyuh melihat orang susah biarkan saja mengalir. Jangan ditahan-tahan“, atau, “Ah, dibanding niat bersedekah lewat badan amal juga engga pernah kesampaian, mending juga saya kasih langsung di jalan”, dan bahkan, “Ah, saya engga percaya sama badan amal anu atau anu. Mending langsung bersedekah pada yang berhak”. Begitulah.

Jebakan Iba

Walaupun pengemis sudah ada sejak jaman dulu tapi fenomena anak jalanan baru merebak sejak krisis moneter tahun 1997. Pada saat ini, walaupun krismon sudah lama berlalu tapi jumlah anak jalanan tidak berkurang, justru semakin bertambah.

Penyebab utama mengapa pengemis dan anak jalanan semakin banyak konon karena ada uang mudah yang tersedia di jalan. Sebuah sumber menyebutkan, jumlah uang yang tersebar di jalanan ibu kota adalah 1,5 M setiap harinya. Ya, setiap harinya. Uang tersebut adalah uang yang diulurkan lewat kaca mobil kita karena adanya rasa iba. Adanya ‘rasa iba massal’ itu lah yang lalu dieksploitasi dalam serangkaian drama yang menjual kemiskinan. Semakin tampil miskin maka akan semakin memancing rasa iba orang-orang agar terus memberi.

Anda mungkin berpikir uang yang diberikan akan berjasa memperbaiki kehidupan mereka dan dipergunakan untuk membayar kebutuhan-kebutuhan mendasar (makan, pakaian, tempat tinggal) serta edukasi. Padahal, anak jalanan yang berpenghasilan 20 – 50 ribu (atau pengemis dewasa yang berpenghasilan 50-100ribu) per hari ini kebanyakan mempergunakan uangnya untuk jajan, memberi setoran pada koordinatornya, membeli pulsa, membeli rokok, main game di warnet, atau membeli lem dan narkoba.

Sangat kesal melihat orang dewasa usia produktif meminta-minta di jalan dan tidak melakukan pekerjaan yang halal ( apalagi mereka juga membawa anaknya meminta-minta ). Saya yakin masih ada peluang pekerjaan halal bila mereka mau berusaha dan tidak pilih-pilih. Pernah pada suatu waktu saat saya sedang sangat memerlukan bantuan tenaga ART ( Asisten Rumah Tangga ) dan saya merasa sedih melihat perempuan-perempuan muda mengemis di jalanan. Seandainya satu saja diantaranya mau bekerja pada saya, tentu akan saya terima.

“ Tapi kalo kerja jadi pembantu emang dapetnya berapa? Sudah cape, hasilnya tidak seberapa”.

Itu lah salah satunya yang belakangan ini membuat terusik setelah membaca berita tentang para pengemis dan anak jalanan berdemo di kantor pemerintahan kota Bandung. Mereka menuntut penghasilan yang ‘layak’ dari pekerjaan menjaga kebersihan di jalan. Jumlah yang menurut salah satu teman saya berada di atas jumlah penghasilan dosen PNS golongan III berlatar pendidikan S2, atau setara dengan gaji resmi anggota DPRD.

Stop memberi uang di jalan!

Jalanan bagi beberapa pihak adalah lahan subur untuk mendapatkan uang secara mudah yang akan bercabang pada tindak kriminal lainnya seperti human trafficking, narkoba, pelacuran, perampokan, dan sebagainya. Uang mudah ini juga yang telah mematikan semangat juang para orang tua untuk bekerja secara halal dan anak-anak untuk bersekolah.

Buat apa susah-susah sekolah, bukankah sekolah itu tujuannya untuk mencari uang ?

Mari bayangkan 20 tahun dari sekarang di masa depan. Masa di mana mantan anak-anak jalanan yang tidak tahu cara mencari uang secara halal akan tumbuh menjadi preman-preman jalanan yang meresahkan masyarakat, dan akan melahirkan anak-anak jalanan lainnya. Pengemis di jalanan akan semakin banyak dan menciptakan masalah sosial yang lebih sulit diatasi.

Satu cara yang bisa dilakukan ialah berhenti memberikan uang di jalanan. Ini adalah cara awal yang penting untuk memutus mata rantai jaringan pengemis dan anak jalanan. Dengan tidak memberikan uang di jalan anda memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam lingkaran setan keberadaan pengemis dan anak jalanan di lingkungan anda. Walaupun ini bukan solusi untuk menghilangkan pengemis dan anak jalanan sepenuhnya namun bisa mengurangi jumlah pengemis.

Dan apabila mengemis adalah kebiasaan buruk, bukankah memberi uang yang akan melanggengkan praktek mengemis juga adalah kebiasaan buruk?

Memberi untuk memberdayakan

Mengulang kalimat di awal tulisan ini, manusia memang memiliki dorongan alami untuk menolong sesamanya. Tapi tidak cukup hanya sekedar iba dan kasihan karena kita pun perlu bijak saat memberi. Kita perlu memastikan bantuan tersebut tidak akan berbuah keburukan di masa depan.

Diperlukan kepekaan hati untuk bisa melihat mana yang benar-benar memerlukan bantuan dan mana yang hanya bersandiwara. Konon mereka yang benar-benar memerlukan bantuan justru akan menjaga dirinya dari meminta-minta dan tidak akan memaksa anda untuk memberi. Bahkan di jalanan sekalipun, anda akan bisa membedakan mana yang benar-benar berjuang mencari nafkah halal dan mana yang mengemis. Selalu utamakan berbagi rezeki pada mereka yang berusaha dan bukan pada mereka yang tidak mau berusaha.

Mulailah membantu sesama dari orang-orang terdekat : kerabat/keluarga dan tetangga. Mereka adalah orang-orang yang mungkin tidak akan memberitahukan kesulitannya namun anda mengetahui kondisinya. Bantu juga orang – orang yang anda temui di lingkungan rumah sehari-hari : tukang dagang, tukang kebun, dan sebagainya. Utamakan bersedekah pada orang-orang yang anda kenal dekat karena akan memberikan dua kebaikan : kebaikan bersedekah dan kebaikan bersilaturahmi.

Jika anda memiliki kepedulian pada pengemis dan anak jalanan, salurkan bantuan anda lewat badan amal dan zakat yang resmi. Pilih badan amal yang terpercaya lewat riset langsung untuk mengetahui programnya dan memantau perkembangannya. Ada juga beberapa lembaga / komunitas edukasi bagi anak-anak kurang mampu yang dengan mudah dapat anda temukan lewat internet dan jejaring sosial. Walau dalam jumlah sedikit, usahakan menyumbang secara berkala/rutin /berkelanjutan, karena salah satu kendala pembinaan anak jalanan adalah karena hambatan biaya.

Usaha-usaha menanam bibit kebaikan walau sedikit namun rutin ini diharapkan mampu menumbuhkan tunas dan pohon kebaikan yang dapat di tuai di kemudian hari.

Saya selalu percaya kebaikan dan ketulusan hati ada di masyarakat. Jumlah uang yang sedemikian besar beredar di jalanan itu pun berasal dari cinta dan belas kasih masyarakat. Rasa belas kasih yang telah saling menghubungkan kita semua. Rasa belas kasih yang kini semakin arif, yang tidak hanya memberi rasa bahagia pada yang memberi, namun juga memberi kebaikan pada yang menerimanya.

 

Be good. Do good. Feel good.

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of